Lembaga konsultan properti, Jones Lang LaSalle (JLL) menyambut positif rencana pemerintah yang akan menerapkan pajak progresif pada tanah tidak produktif alias menganggur. Adanya penerapan kebijakan ini diyakini akan membuat industri properti bisa kembali bergairah.
Namun demikian, kebijakan yang belum dibahas lebih lanjut ini perlu diperjelas implementasinya nanti seperti apa di lapangan.
“Kalau dilihat tujuannya, ini kita sambut dengan baik. Tapi implementasinya belum dijelaskan sejauh ini. Apakah tax ini akan dikenakan pada pajak penghasilan (PPh) atau pajak bumi dan bangunan (PBB),” ujar Head of Research Jones Lang LaSalle (JLL), James Taylor dalam jumpa pers di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (1/2/2017).
Selain itu, pemerintah diminta untuk memperjelas definisi dari yang dimaksud dengan tanah tak produktif. Bagaimana zona antara lahan yang diperuntukkan bagi hunian, industri, maupun komersil, lokasinya ada di mana, kategori waktu yang menganggur seperti apa, dan hal lainnya yang mendasari dikenakannya pajak pada suatu areal lahan tersebut.
Klik : Dijual Rumah Baru di Cengkareng
“Kita himbau untuk melihat definisi dari tanah tidak produktif, apakah ada zonasinya antara hunian, industri dan komersil. Berapa lama dan apakah pajak ini dari land area atau kavling yang dikuasai,” kata Local Director Strategic Consulting JLL, Herully Suherman menambahkan.
“Pemerintah juga perlu mengedukasi masyarakat tentang berapa lama tanah boleh dibiarkan tidak terbangun, dan apakah pajak ini dikenakan berdasarkan total lahan yang dikuasai atau dihitung dari sisi mana,” pungkasnya.
Seperti diketahui, pemerintah akan mengenakan pajak progresif untuk tanah yang selama ini tidak produktif atau tanah nganggur. Tujuannya untuk menghapuskan para spekulan yang selama ini mempermainkan harga tanah.
Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) Sofyan Djalil tengah menyiapkan revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. UU tersebut akan menjadi dasar pengenaan pajak. Kompas.com