Pemerintah telah merilis aturan baru soal sistem perjanjian jual beli properti. Beleid tercantum dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 11/PRT/M/2019 tentang Sistem Perjanjian Pendahuluan Jual Beli (PPJB) Rumah.
Mengutip laman resmi Kementerian PUPR, peraturan baru ini sekaligus mencabut dua beleid sebelumnya, yakni Kepmen 11/KPTS/1994 tentang Pedoman Perikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun dan Kepmen 09/KPTS/M/1995 tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah.
Aturan yang diterbitkan pada 12 Juli 2019 dan diundangkan pada 18 Juli 2019 ini akan menjadi landasan bagi pengembang dalam melakukan pemasaran dan PPJB.
Sistem PPJB yang dimaksud berlaku untuk rumah pribadi, rumah deret, dan rumah susun (rusun). Sementara, pelaku pembangunan dalam sistem PPJB atau pengembang terdiri dari perseorangan dan badan hukum.
Sebelum melakukan pemasaran, pengembang harus memiliki kepastian peruntukan ruang, kepastian hak atas tanah, kepastian status penguasaan rumah, perizinan pembangunan perumahan atau rumah susun, dan jaminan atas pembangunan perumahan atau rumah susun dari lembaga penjaminan.
Kemudian, beberapa informasi harus disampaikan kepada masyarakat ketika melakukan pemasaran, seperti nomor surat keterangan rencana kabupaten/kota, nomor sertifikat hak atas tanah, surat dukungan dari bank/bukan bank, dan nomor dan tanggal pengesahan untuk pelaku pembangunan berbadan hukum.
Lalu, juga harus ada nomor dan tangga penerbitan izin mendirikan bangunan induk atau izin mendirikan bangunan, rencana tapak perumahan atau rumah susun, dan spesifikasi bangunan atau denah rumah.
Dalam hal ini, proses PPJB juga baru bisa dilakukan setelah pengembang memenuhi beberapa persyaratan, yakni status kepemilikan tanah, hal yang diperjanjikan, kepemilikan izin mendirikan bangunan induk atau izin mendirikan bangunan (IMB), ketersediaan prasarana dan sarana, serta bangunan paling sedikit sudah mencapai 20 persen.
Info Lengkap Klik : DISINI
Pengamat properti dari Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda berpendapat secara keseluruhan aturan ini memberikan kepastian kepada konsumen ketika membeli properti di dalam negeri. Dengan demikian, secara tak langsung bisa mendorong pembelian rumah.
Namun, beberapa poin dalam beleid ini dipandang memberatkan dunia usaha. Ali mencontohkan, pembangunan dan pemasaran baru bisa dilakukan setelah IMB terbit.
“Tapi secara umum ini akan bagus untuk menjamin kepastian konsumen karena proyek baru bisa dibangun setelah izin-izin termasuk IMB telah selesai. Yang agak masalah untuk bangunan tinggi seperti apartemen karena penerbitan IMB membutuhkan waktu yang lama,” ucap Ali kepada CNNIndonesia.com.
Selain itu, poin yang menyebut bahwa pengembang wajib mengembalikan seluruh pembayaran konsumen jika terjadi pembatalan pembelian juga merugikan perusahaan properti.
Seharusnya, kata Ali, jumlah pengembalian harus dikurangi beban biaya perusahaan selama melakukan pembangunan agar tetap menguntungkan kedua belah pihak.
“Kalau yang adil harusnya tetap pengembalian uang tapi setelah dikurangi biaya-biaya, termasuk biaya fee marketing, biaya administrasi yang sudah dikeluarkan oleh pengembang,” jelas Ali.
Dalam Pasal 13 memang dituliskan bahwa pengembalian uang 100 persen dilakukan ketika konsumen membatalkan pembelian karena kelalaian pengembang.
Namun, pada pasal 9 dituliskan bahwa jika pembatalan bukan karena kelalaian pengembang, maka perusahaan bisa memotong uang konsumen sebesar 10 persen.
“Intinya bagus untuk menjamin konsumen namun ada beberapa hal yang juga harus dipertimbangkan dari sisi bisnisnya,” pungkas Ali.
https://youtu.be/FD108L12A0M